krisis ekonomi

TUGAS MAKALAH LAPORAN

KRISIS EKONOMI GLOBAL PADA TAHUN 2008 SERTA DAMPAK BAGI INDONESIA

 

 

 

DI SUSUN OLEH :

EKO HARIYANTO

110231100116

KELAS : C

JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN

UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA

2011/2012

 

KATA PENGANTAR

              Alhamdulillah hirobbil alamin kami panjatkan puji syukur  kehadirat ALLAH SWT. Kerena berkat rahmat dan izinnya kita dapat menyelesaikan makalah kami, yang berjudul KRISIS EKONOMI GLOBAL 2008, dengan tepat waktu tanpa adanya halangan.

Makalah ini kami susun berkaitan dengan adanya proses belajar didalam kelas untuk melakukan sebuah pengumpulan tugas, yang telah di tentukan

Demikian kata pengantar dari kami apabila dalam makalah kami terdapat kesalahan dalam penyampaian dan pemaparan kami sampaikan maaf kami juga berharap kritik dan saran yang membangun untuk kami sehingga dapat memperbaikinya dalam penyusunan makalah berikutnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

Bangkalan, 11 Desember 2011

 

 

 

 

 

BAB I

PEMBAHASAN

KRISIS EKONOMI GLOBAL 2008

  1. 1.      PENGERTIAN KRISIS EKONOMI

Krisis ekonomi merupakan peristiwa di mana seluruh sektor ekonomi pasar dunia mengalami keruntuhan dan mempengaruhi sektor lainnya di seluruh dunia. Ini dapat kita lihat bahwa negara adidaya yang memegang kendali ekonomi pasar dunia yang mengalami keruntuhan besar dari sektor ekonominya. Bencana pasar keuangan akibat rontoknya perusahaan keuangan dan bank-bank besar di Negeri Paman Sam satu per satu, tinggal menunggu waktu saja. Bangkrutnya Lehman Brothers langsung mengguncang bursa saham di seluruh dunia.

 

  1. 2.      LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

 

Krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2008 sebenarnya bermula pada krisis ekonomi Amerika Serikat yang lalu menyebar ke negara-negara lain di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Krisis ekonomi Amerika diawali karena adanya dorongan untuk konsumsi (propincity to Consume).

Terdapat enam penyebab terjadinya krisis ekonomi Amerika Serikat, yaitu penumpukkan hutang yang sangat besar, adanya program pengurangan pajak korporasi yang mengakibatkan berkurangnya pendapatan Negara, besarnya biaya yang dikeluarkan untuk membiayai perang Irak dan Afghanistan, lembaga pengawas keuangan CFTC (Commodity Futures Trading Commision) tidak mengawasi mengawasi ICE (Inter Continental Exchange) sebuah badan yang melakukan aktifitas perdagangan berjangka, kerugian surat berharga property, dan yang terakhir adalah keputusan suku bunga murah yang mengakibatkan timbulnya spekulasi yang berlebihan. Penurunan suku bunga yang dilakukan oleh The Federal Reserve of The United States atau bank sentral Amerika yang kala itu dipimpin oleh master ekonom dunia Alan Greenspan membuat gejolak baru di pasar amerika.

Rakyat Amerika hidup dalam konsumerisme di luar batas kemampuan pendapatan yang diterimanya. Mereka hidup dalam hutang, belanja dengan kartu kredit, dan kredit perumahan.

Akibatnya lembaga keuangan yang memberikan kredit tersebut bangkrut karena kehilangan likuiditasnya, karena piutang perusahaan kepada para kreditor perumahan telah digadaikan kepada lembaga pemberi pinjaman. Pada akhirnya perusahaan –perusahaan tersebut harus bangkrut karena tidak dapat membayar seluruh hutang-hutangnya yang mengalami jatuh tempo pada saat yang bersamaan. Runtuhnya perusahaan-perusahaan finansial tersebut mengakibatkan bursa saham Wall Street menjadi tak berdaya, perusahaan-perusahaan besar tak sanggup bertahan seperti Lehman Brothers dan Goldman Sachs. Krisis tersebut terus merambat ke sektor riil dan non-keuangan di seluruh dunia.

Krisis keuangan di Amerika Serikat pada awal dan pertengahan tahun 2008 telah menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat Amerika Serikat yang selama ini dikenal sebagai konsumen terbesar atas produk-produk dari berbagai negara di seluruh dunia. Penurunan daya serap pasar itu menyebabkan volume impor menurun drastis yang berarti menurunnya ekspor dari negara-negara produsen berbagai produk yang selama ini dikonsumsi ataupun yang dibutuhkan oleh industri Amerika Serikat. Oleh karena volume ekonomi Amerika Serikat itu sangat besar, maka sudah tentu dampaknya kepada semua negara pengekspor di seluruh dunia menjadi serius pula, terutama negara-negara yang mengandalkan ekspornya ke Amerika Serikat.

  1. 3.      MENJALARNYA KRISIS KE SELURUH DUNIA

Tanggal 15 September 2008 menjadi catatan kelam sejarah perekonomian Amerika Serikat, kebangkrutan Leman Brothers yang merupakan salah satu perusahaan investasi atau bank keuangan senior dan terbesar ke 4 di Amerika serikat menjadi awal dari drama krisis keuangan di negara yang mengagung-agungkan sistem kapitalis tanpa batas. Siapa yang menyangka suatu negara yang merupakan tembok kapitalis dunia akan runtuh .Celakanya apa yang terjadi di Amerika Serikat dengan cepat menyebar dan menjalar keseluruh dunia. Hanya beberapa saat setelah informasi runtuhnya pusat keuangan dunia di Amerika, transaksi bursa saham diberbagai belahan dunia seperti Hongkong, China, Australia, Singapura, Korea Selatan, dan Negara lainnya mengalami penurunan drastis, bahkan Bursa Saham Indonesia (BEI) harus disuspend selama beberapa hari, pemerintah Indonesia pun kelihatan panik dalam menyikapi permasalahan ini, peristiwa ini menandai fase awal dirasakannya dampak krisis ekonomi global yang pada mulanya terjadinya di Amerika dirasakan oleh negara Indonesia.Dilihat dari faktor penyebabnya, krisis Ekonomi global pada saat ini berbeda dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia lebih kurang satu dasawarsa lalu, yang mana pada saat itu krisis ekonomi yang melanda Indonesia lebih disebabkan oleh ketidakmampuan Indonesia menyediakan alat pembayaran luar negeri, dan tidak kokohnya struktur perekonomian Indonesia, tetapi krisis keuangan global pada tahun 2008 ini berasal dari faktor-faktor yang terjadi di luar negeri. Tetapi kalau kita tidak hati-hati dan waspada dalam menyikapi permasalahan ini, tidak mustahil dampak krisis keuangan global pada tahun 2008 ini akan sama atau bahkan lebih buruk jika dibandingkan dengan dampak dari krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998.Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, selain menyebabkan volume perdagangan global pada tahun 2009 merosot tajam, juga akan berdampak pada banyaknya industri besar yang terancam bangkrut, terjadinya penurunan kapasitas produksi, dan terjadinya lonjakan jumlah pengangguran dunia. Bagi negara-negara berkembang dan emerging markets, situasi ini dapat merusak fundamental perekonomian, dan memicu terjadinya krisis ekonomi.Kekhawatiran atas dampak negatif pelemahan ekonomi global terhadap perekonomian di negara-negara emerging markets dan fenomena flight to quality dari investor global di tengah krisis keuangan dunia dewasa ini, telah memberikan tekanan pada mata uang seluruh dunia, termasuk Indonesia dan mengeringkan likuiditas dolar Amerika Serikat di pasar domestik banyak negara. Hal ini menyebabkan pasar valas di negara-negara maju maupun berkembang cenderung bergejolak di tengah ketidakpastian yang meningkat.Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, meskipun Indonesia telah membangun momentum pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tidak akan terlepas dari dampak negatif perlemahan ekonomi dunia tersebut. Krisis keuangan global yang mulai berpengaruh secara signifikan dalam triwulan III tahun 2008, dan second round effectnya akan mulai dirasakan meningkat intensitasnya pada tahun 2009, diperkirakan akan berdampak negatif pada kinerja ekonomi makro Indonesia dalam tahun 2009 baik di sisi neraca pembayaran dan neraca sektor riil, maupun sektor moneter dan sektor fiskal (APBN).Dampak negatif yang paling cepat dirasakan sebagai akibat dari krisis perekonomian global adalah pada sektor keuangan melalui aspek sentimen psikologis maupun akibat merosotnya likuiditas global. Penurunan indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai sekitar 50,0 persen, dan depresiasi nilai tukar rupiah disertai dengan volatilitas yang meningkat. Sepanjang tahun 2008, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sebesar 17,5 persen. Kecenderungan volatilitas nilai tukar rupiah tersebut masih akan berlanjut hingga tahun 2009 dengan masih berlangsungnya upaya penurunan utang (deleveraging) dari lembaga keuangan Kondisi bursa dan pasar keuangan secara global telah mengalami tekanan yang sangat berat, akibat kerugian yang terjadi di pasar perumahan (subprime mortgages) yang berimbas ke sektor keuangan Amerika Serikat. Lembaga-lembaga keuangan raksasa mulai bertumbangan akibat nilai investasi mereka jeblok. Banyak diantara lembaga-lembaga keuangan yang sudah berusia lebih dari seratus tahun tersebut harus meminta penyelamatan keuangan mereka apabila tidak mau gulung tikar. Bahkan Fannie Mae dan Freddie Mac, sebagai lembaga penyalur kredit terbesar di AS dengan nilai kredit mencapai sekitar USD 5 triliun, juga harus diselamatkan oleh Pemerintah. Investment Banker sekelas Lehman Brothers juga terpaksa menutup usahanya. Kondisi bursa saham juga sangat memprihatinkan yang ditunjukkan dengan turunnya indeks Dow Jones kepada posisi yang sangat rendah (paling rendah dalam 2 dekade terakhir).Hal ini berimbas ke negara-negara lain di dunia, baik di Eropa, Asia, Australia maupun Timur Tengah. Indeks harga saham di bursa global juga mengikuti keterpurukan indeks harga saham bursa di AS, bahkan di Asia, termasuk Indonesia, indeks harga saham menukik tajam melebihi penurunan indeks saham di AS sendiri. Hal ini mengakibatkan kepanikan yang luar biasa bagi para investor, sehingga sentimen negatif terus berkembang, yang mengakibatkan banyak harga saham dengan fundamental yang bagus, nilainya ikut tergerus tajam.
Selain keadaan yang memprihatinkan di lingkungan bursa saham, nilai tukar mata uang di Asia dan Australia pun ikut melemah terhadap dolar AS. Hal ini lebih dikarenakan kekhawatiran investor asing yang menarik kembali investasinya sehingga menukarkannya ke dalam dolar AS, sehingga mata uang lokal menjadi tertekan.

 

4. DAMPAK KRISIS TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

A. Dampak terhadap Perbankan
Dalam konteks perbankan, Pemerintah perlu berhati-hati, karena tidak ada yang dapat memperkirakan dalam dan luasnya krisis keungan global ini. Menyikapi permasalahan ini, Pemerintah dan otoritas moneter telah melakukan beberapa langkah yang sangat tepat untuk mengurangi kekhawatiran/ketidakpercayaan publik terhadap kapabilitas dan likuiditas bank-bank nasional, yaitu antara lain:
– Penaikkan BI rate menjadi 9,5% untuk mengantisipasi depresiasi terhadap nilai Rupiah dengan meningkatkan atraktifitas investasi dalam nilai Rupiah akibat spread bunga domestik dan luar negeri yang cukup tinggi;
– Peningkatan jumlah simpanan di bank yang dijamin oleh Pemerintah dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 milyar, untuk mengantisipasi rush akibat kekhawatiran masyarakat terhadap keamanan simpanannya di bank. Hal ini dilakukan dengan pengeluaran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. (Perpu);
– Perluasan jenis aset milik bank yang boleh diagunkan kepada BI, yang tadinya hanya meliputi aset kualitas tinggi (SBI dan SUN), namun melalui Perpu, aset yang dapat dijaminkan diperluas dengan Kredit lancar milik bank (ditujukan untuk mengantisipasi turunnya harga pasar SUN, yang terlihat dengan naiknya yield). Hal ini ditujukan untuk mempermudah Bank dalam mengatasi kesulitan likuiditas, sehingga dapat memperoleh jumlah dana yang cukup dari BI.
Kekhawatiran yang dialami oleh masyarakat terhadap dunia perbankan, sebenarnya lebih berdasarkan pada sentimen negatif yang berlebihan akibat krisis di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Apabila penanganan krisis di negara-negara tersebut berhasil, maka otomatis kekhawatiran masyarakat terhadap perbankan nasional pun akan hilang. Namun sebaliknya, apabila krisis global bertambah parah, maka kekhawatiran masyarakat juga akan meningkat yang dapat mengakibatkan meningkatnya animo masyarakat untuk mengambil simpanannya di bank-bank nasional, sehingga akan membuat ambruknya sendi-sendi perbankan nasional. Untuk mengantisipasi hal ini, maka salah satu alternatif yang perlu dipikirkan oleh Pemerintah adalah dengan menjamin 100% semua dana nasabah, termasuk dana kredit yang dikucurkan oleh bank. Hal ini bertujuan agar masyarakat tidak khawatir terhadap simpanannya dan dunia perbankan bisa berjalan dengan normal sekaligus menjaga sektor riel bisa tetap bergerak dengan terjaminnya kebutuhan dana dari perbankan.

B. Dampak terhadap Bursa Saham
Bursa saham Indonesia juga mengalami penurunan indeks yang signifikan, sampai melebihi 11%, sehingga memaksa Otoritas Bursa untuk melakukan penghentian perdagangan selama 3 hari untuk mencegah lebih terpuruknya bursa akibat sentimen negatif. Untuk memitigasi kemungkinan lebih terpuruknya indeks yang tidak mencerminkan fundamental perusahaan, maka telah diambil berbagai langkah antar lain:
– Pelarangan short selling, dan penyelidikan terhadapa beberapa perusahaan sekuritas yang disinyalir melakukan short selling pada saat terjadi kepanikan di BEI.
– Penetapan auto rejection sampai dengan 10% (batas atas dan batas bawah) dari sebelumnya sebesar 30%, untuk mencegah lebih terburuknya indeks dan di sisi lain mencegah terjadinya aksi profit taking yang berlebihan dari investor. (Walaupun sebenarnya kebijakan ini, terutama untuk ketentuan batas atas, akan memperlambat pulihnya indeks/rebound).
– Pencanangan program buyback oleh Pemerintah dan BUMN yang diikuti dengan pengendoran aturan buyback di bursa saham, yang bertujuan untuk menstabilkan pasar saham serta mencegah dikuasainya aset negara oleh pihak-pihak asing dengan harga sangat murah.

C. Dampak terhadap Nilai Tukar dan Inflasi
Dampak krisis keuangan jelas terlihat pada nilai tukar Rupiah yang melemah terhadap dolar AS bahkan sempat mencapai RP 10.000/USD pada minggu kedua Oktober 2008. Hal ini lebih dikarenakan adanya aliran keluar modal asing akibat kepanikan yang berlebihan terhadap krisis keuangan global.
Dampak sejenis juga akan terjadi pada inflasi. Karena melemahnya Rupiah terhadap USD, maka harga barang-barang juga akan terimbas untuk naik, karena Indonesia masih mengimpor banyak kebutuhan termasuk tepung dan kedelai.

D. Dampak terhadap Ekspor dan Impor
Krisis keuangan global ini sudah pasti akan sangat berdampak kepada ekspor Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor, bukan hanya ke AS. Selama 5 tahun terakhir ini, ekspor Indonesia ke Amerika menempati urutan ke-2 setelah Jepang dengan kisaran masing-masing 12% – 15%. Selain itu, negara-negara importir produk Indonesia pada urutan ke-3 s.d. 10 (Singapura, RRC, India, Malaysia, Korsel, Belanda, Thailand, Taiwan) menyumbang sekitar 45% dari total ekspor Indonesia. Dari informasi tersebut, hampir dapat dipastikan bahwa keseluruhan negara-negara tersebut sedang mengalami dampak krisis keuangan global yang berakibat pada perlambatan ekonomi di setiap negara. Lebih lanjut hal ini akan mengakibatkan penurunan kemampuan membeli atau bahkan membayar produk ekspor yang dihasilkan Indonesia, sehingga pada akhirnya akan memukul industri yang berorientasi ekspor di Indonesia. Hal ini sudah terkemuka di publik melalui media massa, terutama untuk sektor garmen, kerajinan, mebel dan sepatu, banyak keluhan para pelaku bisnis yang mengatalami penurunan order dan kelambatan pembayaran dari rekanan bisnis yang mengimport barangnya. (Data statistik belum dapat diperoleh).
Dampak yang tidak menguntungkan juga terjadi di sisi impor, karena dengan melemahnya Rupiah, maka nilai impor akan melonjak yang selanjutnya akan menyulitkan para importir untuk menyelesaikan transaksi impor. Dampak berikutnya adalah melonjaknya harga-harga bahan yang berasal dari impor di pasar sehingga inflasi meningkat dan daya beli masyarakat juga akan menurun. Hal ini selanjutnya mengakibatkan turunnya daya serap masayrakat terhadap barang-barang impor sehingga pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan jumlah impor.
e. Dampak terhadap Sektor Riel dan Pengangguran
Dampak terhadap sektor riel dapat dilihat dari dua aspek, yaitu:
– Menurunnya order dari rekanan di luar negeri sehingga banyak perusahaan kesulitan memasarkan produknya yang pada akhirnya harus melakukan efisiensi atau rasionalisasi supaya dapat bertahan hidup.
– Melemahnya daya beli masyarakat Indonesia karena melemahnya mata uang Rupiah dan kenaikan inflasi serta kesulitan likuiditas atau modal kerja dari perbankan yang mengetatkan kebijakan pemberian kreditnya.
Kedua hal tersebut mengakibatkan industri di sektor riel menjadi tertekan, sehingga apabila hal ini berlarut-larut akan melemahkan daya tahan perusahaan yang akan berimbas pada kemungkinan melakukan PHK bagi para karyawannnya demi mengurangi beban perusahaan atau karena memang perusahaan sudah tidak mampu lagi beroperasi.

Krisis ekonomi Amerika tersebut yang semakin lama semakin merambat menjadi krisis ekonomi global karena sebenarnya perekonomian di dunia ini saling terhubung satu sama lainnya, peristiwa yang terjadi di suatu tempat akan berpengaruh di tempat lainnya. Dan tidak jarang dampak yang terjadi jauh lebih besar daripada yang terjadi di tempat asalnya. Oleh karena itu Indonesia juga turut merasakan krisis ekonomi global ini. Indonesia merupakan Negara yang masih sangat bergantung dengan aliran dana dari investor asing, dengan adanya krisis global ini secara otomatis para investor asing tersebut menarik dananya dari Indonesia. Hal ini yang berakibat jatuhnya nilai mata uang kita. Aliran dana asing yang tadinya akan digunakan untuk pembangunan ekonomi dan untuk menjalankan perusahaan-perusahaan hilang, banyak perusahaan menjadi tidak berdaya, yang pada ujungnya Negara kembalilah yang harus menanggung hutang perbankan dan perusahaan swasta.Nilai ekspor Indonesia juga berperan dalam sebagai penyelamat dalam krisis global tahun 2008 lalu. Kecilnya proporsi ekspor terhadap  PDB (Product Domestic Bruto) cukup menjadi penyelamat dalam menghadapi krisis finansial di akhir tahun 2008 lalu. Di regional Asia sendiri, Indonesia merupakan negara yang mengalami dampak negatif paling ringan dari krisis tersebut dibandingkan negara lainnya. Beberapa pihak mengatakan bahwa ‘selamat’nya Indonesia dari gempuran krisis finansial yang berasal dari Amerika itu adalah berkat minimnya proporsi ekspor terhadap PDB. Negara-negara yang memiliki rasio ekspor dengan PDB yang tinggi mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif, seperti Singapura yang rasio ekspornya mencapai 200% dan Malaysia mencapai 100%, sedangkan Indonesia sendiri ‘terselamatkan’ dengan hanya memiliki rasio ekspor sebesar 29%. Dampak lainnya adalah karena krisis global, kini semakin banyak perusahaan yang mengurangi jumlah tenaga kerjanya. Diperkirakan 200 ribu jiwa akan menjadi pengangguran pada tahun 2009. Dengan bertambahnya angka pengangguran maka pendapatan per kapita juga akan berkurang dan angka kemiskinan juga akan ikut bertambah pula. Karena krisis yang terjadi adalah krisis global, maka tenaga kerja kita yang ada di luar negeri juga merasakan imbasnya. Malaysia merencanakan untuk memulangkan sekitar 1,2 juta tki yang mayoritas berasal dari Indonesia karena akan memprioritaskan pekerja lokal. Itu baru dari satu Negara, belum lagi dari Negara-negara lainnya. Hal tersebut tentu saja sangat mempengaruhi roda perekonomian Negara kita. Jika pemerintah tidak dapat menyediakan lapangan kerja yang cukup, maka krisis ini akan menjadi krisis yang sangat besar.Langkah antisipasi untuk mengatasi dampak krisis ini nampaknya sudah dipikirkan oleh pakar ekonomi negera ini. Pakar-pakar ekonomi dari Fakultas Ekonomi yang tergabung dalam organisasi KAGAMA (Keluarga Alumni Universitas Gajah Mada) merekomendasikan beberapa langkah untuk mengatasi krisisi gobal yang kini melanda bangsa Indonesia. Meskipun mereka mengakui pemerintah sudah mengeluarkan beberapa kebijakan yang berkaitan dengan antisipasi krisis keuangan global tersebut, tetapi kebijakan tersebut menurut mereka perlu dikaji kembali secara menyeluruh tentang segala aspek kehidupan dan bersifat antisipatif jauh ke depan. Dua puluh enam pakar ekonomi yang diketuai oleh ekonom terkemuka Prof. Dr. Sjafrie Sairin, MA ini menghasilkan beberapa langkah rumusan untuk mengatasi dampak krisis global, antara lain

  1. Melakukan penyesuaian APBN 2009 dengan prioritas untuk pembangunan infrastruktur dalam bentuk program padat karya disamping melakukan penataan bagi sektor informal di kota-kota dengan kebijakan anti penggusuran.
  2. Di bidang pertanian, diambil langkah untuk mengarahkan petani miskin dan penganggur untuk mendapatkan lahan produktif sebagai modal untuk meningkatkan taraf hidup serta membatalkan rencana pemberlakuan pajak terhadap produk-produk pertanian.
  3. Untuk bidang ekonomi makro, mendesak diturunkan suku bunga dan melonggarkan likuiditas untuk menggerakkan sektor riil serta memberikan insentif pajak bagi industri yang mempunyai basis penyerapan tenaga kerja yang besar.
  4. Pemerintah disarankan secara serius mengelola resiko ekonomi dan fiskal disamping melakukan penguatan pada sektor UMKM dan kewirausahaan.
  5. Pemerintah harus lebih fokus pada pembangunan ekonomi domestik untuk lebih mandiri dan melakukan revitalisasi industri dengan prioritas pada sumberdaya industri dan pembanganun infrastruktur. Indonesia perlu membangun perekonomian yang memiliki daya tahan dan kelenturan yang tinggi agar dapat tetap berkembang dan bertahan dalam kondisi yang semakin dinamis dan kompetitif
  6. Diperlukan kebijakan untuk meningkatkan pemanfaatan tenaga-tenaga sarjana yang terkena imbas PHK sebagai tenaga pendampingan di sektor pertanian, kesehatan dan kependudukan dan terakhir, melakukan reorientasi kebijakan-kebijakan pembangunan yang mendorong ke arah kemandirian bangsa.

Inti dari solusi tersebut adalah penguatan sektor mikro yang relatif tidak terpengaruh oleh faktor-faktor eksternal seperti nilai tukar, kebutuhan negara lain, keadaan ekonomi politik negara lain, dan perjanjian dalam forum perdagangan seperti WTO. Sudah saatnya ekonomi Indonesia berbasis SDM serta SDA asli Indonesia diberi peluang lebih untuk membangun fondasi perekonomian Indonesia berbasis usaha mikro yang terbukti lebih tahan terhadap goncangan serta dapat lebih memberdayakan tenaga kerja negara ini agar tingkat pengangguran semakin berkurang.

Dengan adanya kasus tersebut, para ekonom Indonesia sudah seharusnya mengambil hikmah dari krisis 1998 dan 2008 agar jika krisis-krisis yang sama terulang di tahun-tahun ke depan, Indonesia sudah memiliki fondasi yang kuat serta antisipasi yang matang untuk menghadapinya.

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

KESIMPULAN/PENUTUPAN

Sosok kerajaan bisnis yang dibangun di atas fondasi semu dan tumpukan utang, menjadi tidak berdaya menghadapi krisis ekonomi. Sampai titik ini pun, pemerintah nampaknya belum juga bangkit kesadarannya, bahwa menyelamatkan sektor modern dengan cara “habis-habisan” (all out dan at all cost) seperti yang terus dilakukan selama ini mengandung konsekuensi yang teramat riskan. Pemerintah masih terobsesi dan selalu disugesti seakan-akan hanya dengan sektor modern itulah bangsa berdaulat ini dapat kembali bangkit dari keterpurukannya.Di luar semua itu, sesungguhnya terdapat kekuatan yang luar biasa yang justru telah menyelamatkan negeri ini dari kebangkrutannya, yaitu ekonomi rakyat. Di atas kertas, perekonomian bangsa ini seharusnya sudah “gulung tikar” sejak angka-angka statistik ekonomi pada periode krisis (1997-1999) menunjukkan kecenderungan yang terus memburuk. Nyatanya, kondisi “sekarat” itu hanya terjadi pada sektor-sektor yang memang mampu tercatat dan terefleksikan dalam angka-angka statistik itu. Di luar angka-angka itu, yang tidak mampu dicatat oleh sistem statistik yang ada, sesungguhnya masih menyimpan potensi, kekuatan, dan daya tahan yang sangat besar.Akankah pemerintah masih terus-menerus menutup mata terhadap eksistensi ekonomi rakyat? Atau akan terus-menerus meyakini wacana yang selalu digembar-gemborkan oleh para ekonom Neo Klasik bahwa pertumbuhan yang terjadi saat ini adalah karena sumbangan konsumsi (driven consumption) orang-orang berduit? Kiranya sejarah telah membuktikan, bahwa memuja dan memanjakan sektor modern secara “membabi-buta” hanya akan menghasilkan konklusi akhir yang menyedihkan, yang rasa pahitnya tidak hanya dikecap oleh sekelompok orang, tetapi seluruh komponen bangsa ini akan turut merasakannya.Bila bangsa ini cukup cerdas untuk menterjemahkan hikmah krisis ekonomi, secara tidak langsung (blessing in disguise) seharusnya peristiwa menyakitkan ini justru dapat menjadi pelajaran yang dipetik hikmahnya. Kesimpulannya, pengabaian (ignoring) eksistensi ekonomi rakyat dan sektor tradisional sudah tiba saatnya untuk segera dihentikan.

           

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

http://bagkeu-bppk.net/content/mengatasi-dampak-krisis-global-melalui-program-stimulus-fiskal-apbn-09

http://www.ekonomirakyat.org/edisi_3/artikel_4.htm

http://www.depkeu.go.id/ind/Data/Artikel/dampak_perekonomian.htm

http://metris-community.com/dampak-krisis-ekonomi-global/

http://www.janabadra.ac.id/id/index.php?option=com_content&view=article&id=219:dampak-krisis-keuangan-global-terhadap-perekonomian-indonesia&catid=61:fakultas-ekonomi

http://wordpress.com/?ref=footer

 

 

Leave a comment